Ladang ilalang

by : tulisanbucin

Aksa membawa Kaina ke sebuah ladang ilalang yang sangat luas. Bahkan jalan setapak yang membelah ladang ilalang tersebut sudah tidak terlihat karena lebat dan tingginya ilalang yang tumbuh subur.

Kaina sebenarnya ingin bertanya kepada Aksa, mengapa ia membawanya ke tempat ini. Bukankah ia ingin membawa Kaina bertemu dengan ayahnya?

Semenjak di dalam mobil Aksa hanya diam dan sesekali tersenyum kepada Kaina, Kaina juga hanya bisa membalas senyuman itu. Raut wajah Aksa terlihat sendu semenjak menjemputnya ditempat kerja.

Aksa membelah ladang ilalang untuk membuat jalan agar bisa di lewati oleh mereka. Sesampainya di tengah ladang terdapat sebuah pagar kayu yang mengelilingi sebuah gundukan tanah.

“Aksa..” panggil Kaina.

Kaina seolah paham dengan maksud dan tujuan Aksa membawanya kesini, namun ia tetap menunggu penjelasan yang keluar dari mulut Aksa sendiri.

“itu ayah saya” balas Aksa dengan tersenyum.

Tanpa sadar Aksa meraih tangan Kaina dan membawanya mendekat ke gundukan tanah yang tertutupi oleh rerumputan hijau itu.

Aksa melepas jas kerjanya dan meletakkannya di tanah sebagai alas untuk Kaina duduk.

“duduklah” perintah Aksa.

Kaina dengan ragu-ragu menduduki jas Aksa.

Hening, Kaina hanya menatap Aksa yang tengah merapalkan do'a untuk mendiang ayahnya.

Kicauan burung-burung merubah atensi Kaina. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan matahari waktunya terbenam. Pasukan burung-burung itu pasti akan pulang ke sangkar mereka.

“indah” batin Kaina.

Tempat ini memang sangat indah, meskipun sunyi namun tidak terasa sepi. Suara kicauan burung dan hembusan angin yang membuat tempat ini sangat nyaman. Ditambah bisa menikmati matahari terbenam yang sangat indah dan langka.

“dahulu lahan ini ayah saya beli atas nama saya. Beliau ingin membangun rumah impian saya disini, namun keinginan itu belum dapat beliau wujudkan. Sekarang malah saya membangun peristirahatan terakhir ayah saya di atas lahan ini” Aksa memulai pembicaraan.

Kaina mendengarkan cerita Aksa tanpa sedikitpun ingin menginterupsi.

“setidaknya lahan ini bisa menjadi rumah peristirahatan bagi ayah dan saya nantinya” lanjut Aksa sembari menatap Kaina yang masih setia mendengarkan curahan hatinya.

“maafkan saya jika cerita saya malah menambah beban pikiran buat kamu Kaina”

“nggak, nggak sama sekali Aksa. Aku justru senang ada yang mau terbuka sama aku. Terimakasih telah menitipkan cerita yang berkesan ini padaku”

Aksa membelai rambut Kaina pelan sembari mengambil ilalang yang jatuh diatas kepala Kaina.

“dulu ilalang ini belum setinggi ini, beberapa tahun saya tidak kesini ilalang ini sudah menutupi jalan menuju makam ayah” lanjut Aksa.

“Aksa apa aku boleh tanya sesuatu?”

“silahkan”

“apa kamu dulu hanya tinggal dengan ayahmu saja?”

Aksa menatap makam ayahnya sebelum menjawab pertanyaan Kaina.

“tidak, kita tinggal bertiga. Tapi sekarang bunda sudah menikah lagi dan saya lebih memilih untuk tinggal sendiri”

“ah maaf Aksa harusnya aku nggak nanya itu”

“tidak apa Kaina, saya menerima pernikahan kedua bunda saya dengan lapang dada. Saya menghargai keputusan beliau, saya juga tidak akan bisa selalu berada disisinya. Alangkah baiknya jika beliau memiliki pendamping hidup lagi untuk menemani masa tuanya”

Kaina dibuat kagum oleh cerita hidup Aksa. Tetangga yang tidak disangka bisa menjadi sedekat ini dengannya. Menceritakan tentang masalah keluarga bukanlah suatu hal yang mudah dibagi. Namun, Aksa dengan pelan-pelan mulai terbuka dengannya dan mau membagi kisah hidupnya.

Tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka memiliki kesamaan yang sama. Mereka hidup sendiri, tanpa keluarga disisi mereka untuk bertahan di kerasnya hidup ini. Mereka mengesampingkan ego masing-masing untuk menghargai kehidupan keluarga lainnya.